Friday, February 12, 2010

Menjadi kuat karena Kehilangan


Saya, anda atau mungkin juga sebagian besar umat muslim pasti pernah mendengar ceramah atau tausiah, entah di majelis atau televisi atau radio yang menyerukan agar kita tidak sampai terlalu cinta pada dunia. Karena jika itu yang terjadi maka ketika kita harus berpisah dengannya, akan terasa sangat perih rasanya di hati, bahkan mungkin sampai menangis tanpa henti. Bagi saya pribadi ajaran itu benar adanya. Secara teori ketika kita tidak sedang dalam posisi kehilangan atau kekurangan sesuatu, akan mudah bagi kita menyuruh orang lain untuk sabar atas masalah yang dihadapinya, tapi jika yang terjadi adalah sebaliknya, belum tentu juga kita bias bersabar dan ikhlas. Saya ingin bercerita tentang pengalaman pribadi perihal menjadi kuat karena kehilangan. Baru kemarin malam saya mendapatkan sedikit teguran dari Allah. HP kesayangan tiba – tiba hilang dari saku saat perjalanan keluar kota. Sudah barang tentu saya merasa panic dan mencari – cari. Coba di telefon dengan Hanphone adik tapi di reject, sampai beberapa kali dicoba tetap seperti itu. Hampir putus asa akhirnya saya hanya bisa termenung dengan hati yang dongkol dan menyesal sekali kenapa tidak menaruh handphone di saku baju. Lama sekali rasanya melamun sampai – sampai lupa kalau saat itu perut sudah sangat lapar. Lalu akhirnya teringat dengan tausiah seorang ustadz di televisi seperti yang saya uraikan diatas. Akhirnya hati saya mencari pembenaran teori untuk menghilangkan rasa dongkol yang tidak juga hilang. “ ah, terlalu berlebihan rasanya kalau harus terus – terusan marah sendiri, toh handphone tidak akan kembali.” Begitu pikir saya. Lalu saya bandingkan apa yang saya alami dengan kejadian – kejadian yang jauh lebih besar volume kehilangannya. Lumpur Sidoarjo, Gempa Sumatera barat atau bahkan tsunami aceh, bukankah jauh lebih besar kehilangan mereka daripada yang saya alami. Tidak senilai rasanya. Pikiran positif seperti inilah yang selalu saya kemukakan dalam hati sehingga tidak akan menggangu tujuan – tujuan lain yang ingin saya capai. Saya hanya berharap ini adalah sebuah intermezzo untuk tujuan saya yang lebih besar lagi. Jika kita sudah bisa menerima kehilangan / kekurangan sesuatu yang selama ini menemani kita. Saya rasa kedepan akan jauh lebih mudah untuk kita melangkah menghadapi kenyataan – kenyataan lain seperti ini. Endingnya kita akan bisa lebih ikhlas melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri kita dan orang lain tanpa takut kehilangan / kekurangan karena yakin Tuhan selalu bersama orang – orang yang sabar dan ikhlas.

Wednesday, February 10, 2010

Berguru dari Bakul Mie Ayam


Oleh : Bang Dje
Pada Mei 2000 saya merantau ke Jakarta. Semula saya tinggal di Condet. Hanya enam bulan di sana saya pindah ke Tanah Abang. Di sinilah saya mengenal seorang bakul mie ayam. Sebut saja namanya Arief.

Arief lulusan Madrasah Tsanawiyah di Kebumen, Jawa Tengah. Dia sudah menikah tetapi belum memiliki anak. Di Jakarta dia mengajar mengaji kepada anak-anak kecil di musholla dekat rumah. Kebetulan rumah kontrakan kami persis berhadap-hadapan.
Awalnya adalah Satu

Arief mencari nafkah dengan berjualan mie ayam. Dia memiliki satu gerobag. Pagi hari sebelum adzan shubuh berkumandang dia telah mengayuh sepedanya ke pasar untuk berbelanja berbagai kebutuhan. Saat bertemu di masjid untuk shalat shubuh biasanya dia telah selesai berbelanja. Setelah itu kerja keras dimulai.

Mengolah ayam, membuat kuah, membagi mie, menyiapkan kompor dan menata semuanya di gerobag. Tidak ketinggalan berbagai peralatan seperti mangkok, sumpit (ini temennya mie), sendok garpu, beberapa buah gelas dan beberapa botol air putih untuk pelanggan yang minta minum (gratis). Ada pula yang tidak boleh tertinggal yaitu kecap, saus, sambal dan acar. Sekitar jam delapan biasanya semua telah siap. Sesekali saya memesan untuk sarapan (ssst… tentu saja saya selalu dapat porsi lebih banyak).

Ternyata masakannya enak. Sehingga dengan cepat dia memperoleh langganan. Belum lagi beranjak dari rumah beberapa mangkok telah terjual. Dia biasa mangkal di Bilangan Slipi. Setelah membuka dasar nanti akan ada orang yang datang untuk menitipkan dagangannya seperti krupuk, gorengan, kacang dan makanan kecil lainnya. Hal ini membuat warungnya jadi kelihatan lebih ramai.

Saat shalat Ashar dia sudah hadir lagi di masjid yang berarti dia sudah pulang dari berjualan. Biasanya dagangannya sudah habis terjual. Tapi bukan berarti dia sudah bisa beristirahat. Setelah shalat ashar tugas lain sudah menanti. Bersih-bersih. Mangkok, sendok garpu, sumpit, gelas, botol air minum, dandang untuk kuah, semua harus dibereskan.

Gerobag juga harus dibersihkan. Bila perlu sekalian dicuci. Tidak perlu waktu terlalu lama. Sekitar satu jam semua sudah selesai dan dia bisa beristirahat. Ini saat santai buatnya.

Suatu hari saya melihat dua gerobag di depan rumah. Satu gerobag saya kenali milik Arief dan satu lagi gerobag baru yang belum dicat. Ternyata Arief mau membuka cabang. Dia akan membuka lahan untuk berjualan di dekat rumah dan akan ditunggui oleh istrinya.
Rencana Berubah

Tetapi belum lagi rencana ini berjalan seorang temannya, sebut saja Bari, datang. Dan rencanapun berubah.

Bari saat itu sedang menganggur. Dia ingin ikut berjualan Mie Ayam. Arief menawarkan kerja sama. Arief akan menyiapkan semua keperluan lengkap untuk berjualan. Bahkan Arief menawarkan tempatnya biasa mangkal di Bilangan Slipi. Tugas Bari hanya berjualan.

Tiap hari Bari harus setor Rp 50.000,- dan sisanya untuk Bari. (Saya dapat bocoran bahwa untuk belanja harian untuk satu gerobag hanya butuh kurang dari Rp 20.000,- sehingga Arief akan mendapat untung Rp 30.000,- per hari) Bari setuju dan akan mulai berjualan esok pagi.

Esok paginya saya melihat dua orang, Arief dan Bari, berangkat bersama. Arief akan menunjukkan pada Bari tempatnya berjualan sekaligus mengenalkan Bari kepada orang-orang di lingkungan sekitarnya dan pada orang-orang yang menitipkan dagangan.

Hari berikutnya saya membantu Arief mengecat gerobagnya yang baru. Dia bercerita akan mencari tempat mangkal lagi di Bilangan Tanah Abang. Dia juga akan membuat gerobag lagi karena rencana membuka lahan untuk istrinya di dekat rumah tetap akan diwujudkan.

Beberapa hari setelah itu, karena kesibukan masing-masing, kami tidak bertemu. Hingga suatu hari saya sedang jalan-jalan di Tanah Abang tiba-tiba ada yang memanggil. Saya menengok dan ternyata Arief. Rupanya dia telah mendapat tempat berjualan. Tampak beberapa orang sedang menikmati mie ayamnya.
Cerita Terulang

Minggu demi minggu berlalu dan Arief telah membuat gerobag lagi. Ini kelanjutan rencana membuka lahan berjualan untuk istrinya. Tapi cerita terulang lagi. Seorang temannya, sebut saja namanya Danang, datang dengan masalah yang sama dengan Bari. Ariefpun menawarkan pada Danang kerjasama seperti yang ditawarkan kepada Bari. Danang menerima dan ‘ditempat-tugaskan’ di Tanah Abang.

Akhirnya rencana untuk istrinya dapat terwujud. Suatu pagi saya melihat tiga gerobag mangkal di depan rumah kontrakan Arief. Terlihat kesibukan Arief dibantu istrinya menyiapkan segala perbekalan. Sekitar pukul setengah sembilan dua ‘pegawainya’ datang dan mendorong dua gerobag.

Lalu giliran Arief menyiapkan dasaran untuk istrinya.

Biasanya pukul sembilan dia sudah bersantai di rumah. Beristirahat atau melakukan aktifitas yang lain. Setelah shalat dhuhur dia menggantikan istrinya hingga saat shalat ashar tiba. Kadang dia mentraktirku makan siang. Tentu dengan menu mie ayam buatannya. (seperti biasa saya pesan menu spesial dengan bakso)
Dan Pelajarannya

Satu pelajaran yang saya petik dari persahabatan saya dengan Arief adalah dia tidak punya mimpi dan rencana yang muluk-muluk. Dia hanya punya satu rencana lalu mengerjakannya dengan sepenuh hati dan segenap tenaga. Lalu sisanya mengalir mengikutinya.

Tentu Arief telah pula mengalami getirnya menjadi pedagang Mie Ayam. Ban bocor saat mau berangkat dan kompor yang ngadat hanya sebagian di antaranya. Tapi Arief tetap maju terus mengatasi segala rintangan.

Pada 2002 saya memutuskan untuk mudik ke Semarang . Saat itu Arief telah memiliki 3 ‘cabang’. Iseng saya menghitung keuntungan Arief. Tiap satu gerobag dia mendapat untung Rp 30.000,- per hari. Tiga gerobag berarti Rp 90.000,- sehari. Maka selama satu bulan paling tidak dia mengantongi Rp 2,7 juta. Saya katakan ‘paling tidak’ karena keuntungan dari gerobag yang di dekat rumah dia kantongi seluruhnya.

Seorang yang ‘hanya’ lulusan Madrasah Tsanawiyah berpenghasilan sebesar ini pada tahun 2002 saya pikir tidak terlalu buruk. Lagipula kalau ada lahan Arief masih bisa membuka ‘cabang’ lagi.

Selain itu Arief telah membuka jalan mencari nafkah bagi dua temannya. Dan yang lebih menyenangkan dia punya banyak waktu di rumah atau berkumpul dengan istrinya. Semua itu dicapai dalam waktu kurang dari dua tahun.

Sayangnya sejak saya mudik tahun 2002 hingga sekarang belum pernah kontak lagi dengannya. Beberapa kali ditugaskan ke Jakarta, tapi saya tidak sempat mampir. Semoga dagangannya tambah laris dan usahanya semakin lancar.

BRAVO MIE AYAM.(Artikel ini sangat mendalam maknanya bagi admin pribadi, untuk itulah saya berani mengcopy paste, semoga bermanfaat juga bagi yang lain)

PS. Artikel di COPAS dari webnya Mas Arief Maulana tanpa perubahan apapun